ATR/BPN

Strategi ATR/BPN dan Kementerian Pertanian Kelola Sawah Hadapi Alih Fungsi

Strategi ATR/BPN dan Kementerian Pertanian Kelola Sawah Hadapi Alih Fungsi
Strategi ATR/BPN dan Kementerian Pertanian Kelola Sawah Hadapi Alih Fungsi

JAKARTA - Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan bahwa setiap perubahan penggunaan lahan harus sesuai rencana tata ruang. Alih fungsi lahan bukan fenomena baru, melainkan bagian dari dinamika pertumbuhan wilayah dan urbanisasi, kata Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu, Andi Renald, di Jakarta, Kamis.

Menurut Andi, pemerintah tidak dapat menghentikan dinamika ini, tetapi wajib memastikan setiap perubahan lahan berjalan sesuai koridor hukum dan kapasitas ekologis wilayah. Fenomena ini terlihat nyata di berbagai wilayah yang mengalami ekspansi industri, perumahan, dan infrastruktur jalan.

Sawah menjadi lahan paling menggiurkan untuk alih fungsi karena topografinya datar, mudah diakses, dan memiliki infrastruktur lengkap. Akibatnya, sawah teknis produktif yang dulu menopang swasembada beras perlahan tergerus oleh pembangunan.

Laju alih fungsi kian mengkhawatirkan di wilayah Jawa Barat akibat ekspansi Jabodetabek. Pertumbuhan pemukiman dan industri membuat lahan pertanian semakin terdesak dan produktivitas pangan terancam.

Strategi Pengelolaan Lahan Sawah

Sekretaris Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian Kementerian Pertanian, Husnain, menekankan bahwa pengawasan sistem irigasi eksisting harus menjadi prioritas. Rusaknya irigasi di banyak daerah sering menjadi pembenaran alih fungsi sawah karena lahan dianggap tidak lagi produktif.

Langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain mempercepat program cetak sawah baru. Selain itu, pemerintah juga perlu mengoptimalkan lahan sawah eksisting yang masih potensial dan memperluas penguasaan lahan sebagai jaminan pangan nasional.

Himpunan Ilmu Tanah Indonesia menekankan perlunya tambahan area dengan status Areal Penggunaan Lain (APL) untuk mendukung swasembada pangan. Ketua Kehormatan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Prof. Budi Mulyanto, menegaskan bahwa tanpa penambahan APL, pembangunan akan penuh sesak dan konflik kepentingan lahan tidak terhindarkan.

APL merupakan area di luar kawasan hutan yang dapat digunakan secara legal untuk kegiatan non-kehutanan. Fungsi APL mencakup pembangunan pertanian, pemukiman, industri, dan infrastruktur, sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) setempat.

Tantangan Kepentingan Lahan dan Urbanisasi

Prof. Budi menilai bahwa pertumbuhan penduduk menimbulkan persaingan lahan yang semakin ketat. Indonesia mengalami land use involution, di mana ruang yang sama diperebutkan oleh kepentingan yang terus bertambah setiap tahun.

Alih fungsi lahan, meski tak terelakkan, harus dikelola dengan hati-hati agar tetap menjaga kapasitas ekologis dan ketersediaan pangan. Tanpa pengelolaan yang tepat, urbanisasi berpotensi menggerus lahan produktif dan memicu ketimpangan pembangunan antarwilayah.

Sawah yang dahulu menjadi penopang ketahanan pangan kini menghadapi tekanan dari sektor non-pertanian. Ini menuntut kolaborasi antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, dan pemerintah daerah untuk menyelaraskan kebutuhan pembangunan dan swasembada pangan.

Husnain menekankan perlunya integrasi kebijakan pengelolaan irigasi dengan perencanaan tata ruang. Sistem irigasi yang terjaga baik tidak hanya mendukung produktivitas sawah, tetapi juga mencegah alih fungsi lahan yang merugikan ketahanan pangan nasional.

Sementara itu, APL menjadi instrumen strategis untuk menampung kebutuhan pembangunan di luar kawasan hutan. Dengan memanfaatkan APL, pemerintah dapat mengurangi tekanan terhadap lahan pertanian produktif sekaligus menyediakan ruang untuk permukiman, industri, dan infrastruktur publik.

Menuju Keseimbangan Pembangunan dan Ketahanan Pangan

Andi Renald menegaskan bahwa alih fungsi lahan harus selalu berjalan sesuai rencana tata ruang dan kapasitas ekologis wilayah. Dengan pengawasan yang ketat, urbanisasi dan pembangunan dapat berlangsung tanpa mengorbankan sawah produktif yang menjadi penopang swasembada beras nasional.

Program cetak sawah baru dan optimasi lahan eksisting menjadi langkah konkret pemerintah menjaga ketahanan pangan. Sementara APL memberikan fleksibilitas untuk pembangunan, sehingga konflik kepentingan lahan dapat diminimalkan.

Indonesia menghadapi dilema antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan pangan. Dengan perencanaan yang matang, integrasi irigasi, dan pengelolaan APL, pertumbuhan wilayah dan urbanisasi dapat dikelola secara berkelanjutan.

Sawah dan lahan produktif tetap harus menjadi prioritas dalam strategi ketahanan pangan nasional. Pengelolaan yang tepat menjamin bahwa pembangunan infrastruktur dan urbanisasi tidak mengorbankan kebutuhan pangan masa depan.

Dengan kolaborasi antar kementerian dan pemda, lahan dapat dimanfaatkan optimal untuk pertumbuhan ekonomi tanpa mengurangi ketahanan pangan. Strategi ini memastikan Indonesia tetap produktif secara pangan sekaligus mampu menampung urbanisasi dan pembangunan wilayah.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index